BAB I
PENDAHULUAN
Secara epistimologis filsafat berasal dari
kata philo yang berarti cinta dan kata shopos yang berarti
kebijaksanaan atau hikmah. Jadi filsafat berarti cinta kepada pengetahuan atau
kebijaksanaan. Singkat kata, filasafat adalah suatu kegiatan atau aktifatas
yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai dasar utamanya.
Mengenai istilah “philo” atau cinta disini terdapat sebuah catatan. Kata cinta
merujuk kepada panggilan hati nurani untuk melakukan suatu kegiatandengan penuh
kesadaran, tanpa paksaan dari luar. Itulah sebabnya orang melakukan kegiatan
mencari kegiatan atau filosof adalah orang yang pola hidupnya amat unik. Ia
kadang tidak menyukai kebendaan atau hal-hal yang membawa kepada kerendahan dan
hal-hal lain yang kurang ideal.
Hakikat
Filsafat Ilmu Dakwah Filsafat ilmu dakwah ialah suatu penyelidikan tentang
ciri-ciri pengetahuan ilmiah dakwah dan penyelidikan tentang cara-cara
bagaimana ilmu dakwah itu diperoleh. Sesungguhnya filsafat ilmu dakwah
merupakan suatu penyelidikan lanjutan terhadap penyelenggara ilmu dakwah
melakukan penyelidikan terhadap faktisitas dakwah. Atas penyelidikan yang
dilakukan oleh ilmu dakwah terhadap faktisitas dakwah itu, filsuf ilmu dakwah
mengadakan penyelidikan terhadap kegiatan ilmiah tersebut. Dengan mengalihkan
perhatian dari objek yang ditangani oleh ilmu dakwah, kepada cara-cara dan
ciri-ciri ilmu dakwah menyelenggarakan kegiatan ilmiahnya, dengan cara demikian
filsafat ilmu dakwah akan menemukan suatu matra baru; Yakni segi-segi yang
menonjol serta latar belakang segenap kegiatan keilmuan dakwah akan menjadi
tampak. Berangkat dari sini, maka akan menjadi semakin tampak dan jelas saling
hubungan antara objek yang dikaji oleh ilmu dakwah dengan metode penelitian
yang digunakannya, antara pendekatan ilmiahnya dengan pengolahan data-data
secara ilmiahnya, antara temuan-temuan data dengan model analisisnya. Dengan
demikian filsafat ilmu dakwah merupakan suatu bentuk pemikiran yang mendalam
yang berkelanjutan (secondary reflexion). [1]
Dakwah secara esensial bukan hanya berarti
usaha mengajak mad’u untuk beriman dan beribadah kepada Allah, tetapi juga
bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi
dengan berdasarkan petunjuk Allah dan RasulNya. Jadi dakwah dipahami sebagai
seruan, ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat islami
berdasarkan kebenaran ajaran islam yang hakiki. Namun dalam hal ini dakwah
sebagai gejala monisme adalah dakwah sebagai gejala tunggal, dimana kita bisa
berdakwah dimasyarakat, berarti kalau gejalanya tunggalnya, itu gejala pada
kitanya yang berdakwah untuk bisa menyampaikan kepada mad’u. Maka saya akan
membahas dakwah sebagai gejala monisme dalam makalah ini lebih lanjut.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Arti Dakwah
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru,
mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu
wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau
ajakan.
Kata
dakwah sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata "Islam", sehingga menjadi
"Ilmu dakwah" dan Ilmu Islam" atau ad-dakwah al-Islamiyah.
1.2 Tujuan Dakwah
Tujuan dakwah ini dimaksudkan untuk pemberi arah atau
pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab tanpa tujuan yang jelas
seluruh aktifitas dakwah akan sia-sia. Dengan demikian tujuan dakwah sebagai
bagian dari seluruh aktifitas dakwah sama pentingnya dari pada unsur-unsur
lainnya seperti subjek dan objek dakwah, metode dan sebagainya.
a) Tujuan umum dakwah ( major
objektive) adalah Mengajak umat mmanusia meliputi orang mukmin maupun orang
kafir atau musyrik kepada jalan yang benar yang diridhoi Allah SWT. Agar dapat
hidup bahagia dan sejahtera didunia maupun di Akhirat.
b) Tujuan khusus dakwah (minor
obktive) dibagi lagi dalam berbagai khusus yaitu.,
ü
Menganjurkan dan menunjukkan perintah-perintah Allah.
Perintah Allah secara garis besar dapatlah dibilang ada dua yakni islam dan
iman.
ü
Menunjukkan larangan-larangan Allah. Larangan ini meliputi
larangan-larangan yang bersifat perbuatan ( amalia), dan perkataan (qouliyah).
ü
Menunjukkan keuntungan-keuntungan bagi kaum yang mau
bertakwa kepada Allah
ü
Menunjukkan ancaman Allah bagi kaum yang ingkar kepadanya.
1.3 Monisme
Monisme
(monism) berasal dari kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal)
secara istilah monisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok
dari segala sesuatu adalah unsur yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini
bisa berupa materi, pikiran, Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu
adalah materi, sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide.[2] Orang yang mula-mula
menggunakan terminologi monisme adalah Christian Wolff (1679-1754).
Dalam aliran ini tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda
dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang
sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya
merupakan bentuk lain dari zat.[3] Atau dengan kata lain bahwa
aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang fundamental.
Adapun para filsuf yang
menjadi tokoh dalam aliran ini antara lain: Thales (625-545 SM), yang
menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu subtansi yaitu air.[4] Pendapat ini yang
disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM) , yang mengatakan bahwa semuanya itu
air. Air yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar(principle)
segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada
air pula.[5] Bahkan bumi yang
menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian besar terdiri dari air yang
terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai. Bahkan dalam diri manusiapun,
menurut dr Sagiran, unsur penyusunnya sebagian besar berasal dari air.[6] Tidak heran jika Thales,
berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena memang semua mahluk hidup
membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak ada kehidupan. Sementara itu
Anaximandros (610-547 SM) menyatakan bahwa prinsip dasar alam haruslah dari
jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang disebutnya
sebagai apeironyaitu suatu zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan
tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannya dengan suatu apapun. Berbeda
dengan gurunya Thales, Anaximandros, menyatakan bahwa dasar alam memang satu
akan tetapi prinsip dasar tersebut bukanlah dari jenis benda alam seperti air.
Karena menurutnya segala yang tampak (benda) terasa dibatasi oleh lawannya
seperti panas dibatasi oleh yang dingin.[7] Aperion yang dimaksud
Anaximandros, oleh orang Islam disebutnya sebagai Allah. Jadi bisa
dikatakan bahwa pendapat Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya alam
dari jenis yang tak terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Hal ini pula yang dikatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997) bahwa yang
dimaksudaperion adalah Tuhan.[8] Anaximenes (585-494
SM), menyatakan bahwa barang yang asal itu mestilah satu yang ada dan tampak
(yang dapat diindera).
Barang yang asal itu yaitu
udara. Udara itu adalah yang satu dan tidak terhingga. Karena udara
menjadi sebab segala yang hidup. Jika tidak ada udara maka tidak ada yang
hidup. Pikiran kearah itu barang kali dipengaruhi oleh gurunya Anaximandros,
yang pernah menyatakan bahwa jiwa itu serupa dengan udara. Sebagai kesimpulan
ajaranya dikatakan bahwa sebagaimana jiwa kita yang tidak lain dari udara,
menyatukan tubuh kita. Demikian udara mengikat dunia ini menjadi satu. Sedang
filsuf moderen yang menganut aliran ini adalah B. Spinoza yang
berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan
diidentikan dengan alam (naturans naturata).[9]
Paham ini menganggap bahwa
hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin
dua, baik yang asal berupa materi ataupun rohani. Paham ini kemudian terbagi
kedalam 2 aliran :
1). Materialisme
Aliran materialisme ini
menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran
pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Dia
berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan.
Aliran ini sering juga disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa
/ruh tidak berdiri sendiri. Tokoh aliran ini adalah Anaximander (585-525 SM).
Dia berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara
merupakan sumber dari segala kehidupan. Dari segi dimensinya paham ini sering
dikaitkan dengan teori Atomisme. Menurutnya semua materi tersusun dari sejumlah
bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap tak dapat dirusakkan.
Bagian-bagian yang terkecil dari itulah yang dinamakan atom-atom. Tokoh aliran
ini adalah Demokritos (460-370 SM). Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini
merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus.
Atom-atom inilah yang merupkan asal kejadian alam.
2). Idealisme Idealisme
diambil dari kata idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idelisme sebagai
lawan materialisme, dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serbacita,
spiritualisme berarti serba ruh. Aliran idealisme beranggapan bahwa hakikat
kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis
dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Tokoh aliran
ini diantaranya :
- Plato (428 -348 SM) dengan teori ide-nya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada dialam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari setiap sesuatu.
- Plato (428 -348 SM) dengan teori ide-nya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada dialam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari setiap sesuatu.
- Aristoteles (384-322 SM),
memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide itu
sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda itu sendiri dan
menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu.
- Pada Filsafat modern padangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley (1685-1753 M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide.
- Pada Filsafat modern padangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley (1685-1753 M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide.
- Kemudian Immanuel Kant (1724-1804
M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-1831 M), dan Schelling (1775-1854 M).
[1] http://masduqi-affandi.blogspot.com/
[2] Save M.
Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 681.
[3]
Jujun S
Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1988, hal. 66
[9] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 119.