Jumat, 21 Desember 2012


BAB I
PENDAHULUAN



Secara epistimologis filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan kata shopos yang berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi filsafat berarti cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan. Singkat kata, filasafat adalah suatu kegiatan atau aktifatas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai dasar utamanya. Mengenai istilah “philo” atau cinta disini terdapat sebuah catatan. Kata cinta merujuk kepada panggilan hati nurani untuk melakukan suatu kegiatandengan penuh kesadaran, tanpa paksaan dari luar. Itulah sebabnya orang melakukan kegiatan mencari kegiatan atau filosof adalah orang yang pola hidupnya amat unik. Ia kadang tidak menyukai kebendaan atau hal-hal yang membawa kepada kerendahan dan hal-hal lain yang kurang ideal.
 Hakikat Filsafat Ilmu Dakwah Filsafat ilmu dakwah ialah suatu penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dakwah dan penyelidikan tentang cara-cara bagaimana ilmu dakwah itu diperoleh. Sesungguhnya filsafat ilmu dakwah merupakan suatu penyelidikan lanjutan terhadap penyelenggara ilmu dakwah melakukan penyelidikan terhadap faktisitas dakwah. Atas penyelidikan yang dilakukan oleh ilmu dakwah terhadap faktisitas dakwah itu, filsuf ilmu dakwah mengadakan penyelidikan terhadap kegiatan ilmiah tersebut. Dengan mengalihkan perhatian dari objek yang ditangani oleh ilmu dakwah, kepada cara-cara dan ciri-ciri ilmu dakwah menyelenggarakan kegiatan ilmiahnya, dengan cara demikian filsafat ilmu dakwah akan menemukan suatu matra baru; Yakni segi-segi yang menonjol serta latar belakang segenap kegiatan keilmuan dakwah akan menjadi tampak. Berangkat dari sini, maka akan menjadi semakin tampak dan jelas saling hubungan antara objek yang dikaji oleh ilmu dakwah dengan metode penelitian yang digunakannya, antara pendekatan ilmiahnya dengan pengolahan data-data secara ilmiahnya, antara temuan-temuan data dengan model analisisnya. Dengan demikian filsafat ilmu dakwah merupakan suatu bentuk pemikiran yang mendalam yang berkelanjutan (secondary reflexion). [1]


Dakwah secara esensial bukan hanya berarti usaha mengajak mad’u untuk beriman dan beribadah kepada Allah, tetapi juga bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi dengan berdasarkan petunjuk Allah dan RasulNya. Jadi dakwah dipahami sebagai seruan, ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat islami berdasarkan kebenaran ajaran islam yang hakiki. Namun dalam hal ini dakwah sebagai gejala monisme adalah dakwah sebagai gejala tunggal, dimana kita bisa berdakwah dimasyarakat, berarti kalau gejalanya tunggalnya, itu gejala pada kitanya yang berdakwah untuk bisa menyampaikan kepada mad’u. Maka saya akan membahas dakwah sebagai gejala monisme dalam makalah ini lebih lanjut.

















BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Arti Dakwah
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.
Kata dakwah sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata "Islam", sehingga menjadi "Ilmu dakwah" dan Ilmu Islam" atau ad-dakwah al-Islamiyah.
1.2  Tujuan Dakwah
Tujuan dakwah ini dimaksudkan untuk pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab tanpa tujuan yang jelas seluruh aktifitas dakwah akan sia-sia. Dengan demikian tujuan dakwah sebagai bagian dari seluruh aktifitas dakwah sama pentingnya dari pada unsur-unsur lainnya seperti subjek dan objek dakwah, metode dan sebagainya.
a)      Tujuan umum dakwah ( major objektive) adalah Mengajak umat mmanusia meliputi orang mukmin maupun orang kafir atau musyrik kepada jalan yang benar yang diridhoi Allah SWT. Agar dapat hidup bahagia dan sejahtera didunia maupun di Akhirat.
b)      Tujuan khusus dakwah (minor obktive) dibagi lagi dalam berbagai khusus yaitu.,
ü  Menganjurkan dan menunjukkan perintah-perintah Allah. Perintah Allah secara garis besar dapatlah dibilang ada dua yakni islam dan iman.
ü  Menunjukkan larangan-larangan Allah. Larangan ini meliputi larangan-larangan yang bersifat perbuatan ( amalia), dan perkataan (qouliyah).
ü  Menunjukkan keuntungan-keuntungan bagi kaum yang mau bertakwa kepada Allah
ü  Menunjukkan ancaman Allah bagi kaum yang ingkar kepadanya.

1.3  Monisme
Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran, Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide.[2] Orang yang mula-mula menggunakan terminologi monisme adalah Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya merupakan bentuk lain dari zat.[3] Atau dengan kata lain bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang fundamental.
Adapun para filsuf yang menjadi tokoh dalam aliran ini antara lain: Thales (625-545 SM), yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu subtansi yaitu air.[4] Pendapat ini yang disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM) , yang mengatakan bahwa semuanya itu air. Air yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar(principle) segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula.[5] Bahkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian besar terdiri dari air yang terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai. Bahkan dalam diri manusiapun, menurut dr Sagiran, unsur penyusunnya sebagian besar berasal dari air.[6] Tidak heran jika Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena memang semua mahluk hidup membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak ada kehidupan. Sementara itu Anaximandros (610-547 SM) menyatakan bahwa prinsip dasar alam haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang disebutnya sebagai apeironyaitu suatu zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannya dengan suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales, Anaximandros, menyatakan bahwa dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar tersebut bukanlah dari jenis benda alam seperti air. Karena menurutnya segala yang tampak (benda) terasa dibatasi oleh lawannya seperti panas dibatasi oleh yang dingin.[7] Aperion yang dimaksud Anaximandros, oleh orang Islam disebutnya sebagai Allah. Jadi bisa dikatakan bahwa pendapat Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya alam dari jenis yang tak terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini pula yang dikatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997) bahwa yang dimaksudaperion adalah Tuhan.[8] Anaximenes (585-494 SM), menyatakan bahwa barang yang asal itu mestilah satu yang ada dan tampak (yang dapat diindera).
Barang yang asal itu yaitu udara. Udara itu adalah yang satu dan tidak terhingga. Karena udara menjadi sebab segala yang hidup. Jika tidak ada udara maka tidak ada yang hidup. Pikiran kearah itu barang kali dipengaruhi oleh gurunya Anaximandros, yang pernah menyatakan bahwa jiwa itu serupa dengan udara. Sebagai kesimpulan ajaranya dikatakan bahwa sebagaimana jiwa kita yang tidak lain dari udara, menyatukan tubuh kita. Demikian udara mengikat dunia ini menjadi satu. Sedang filsuf moderen yang menganut aliran ini adalah B. Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan diidentikan dengan alam (naturans naturata).[9]
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua, baik yang asal berupa materi ataupun rohani. Paham ini kemudian terbagi kedalam 2 aliran :
1). Materialisme 
Aliran materialisme ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan. Aliran ini sering juga disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa /ruh tidak berdiri sendiri. Tokoh aliran ini adalah Anaximander (585-525 SM). Dia berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Dari segi dimensinya paham ini sering dikaitkan dengan teori Atomisme. Menurutnya semua materi tersusun dari sejumlah bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap tak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari itulah yang dinamakan atom-atom. Tokoh aliran ini adalah Demokritos (460-370 SM). Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus. Atom-atom inilah yang merupkan asal kejadian alam.
2). Idealisme Idealisme diambil dari kata idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idelisme sebagai lawan materialisme, dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serbacita, spiritualisme berarti serba ruh. Aliran idealisme beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Tokoh aliran ini diantaranya :
- Plato (428 -348 SM) dengan teori ide-nya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada dialam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari setiap sesuatu.
- Aristoteles (384-322 SM), memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu.
- Pada Filsafat modern padangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley (1685-1753 M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide.
- Kemudian Immanuel Kant (1724-1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-1831 M), dan Schelling (1775-1854 M).



[1] http://masduqi-affandi.blogspot.com/
[2]  Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 681.
[3] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hal. 66
[4] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 118.
[5] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997, hal. 40.
[6] Disampaikan dalam kulaiah Sains dalam Perspektif Al-Qur,an di FAI UMY, 2009.
[7] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997, hal. 40.

[9] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 119.